Hubungan Budaya Dengan Emosi & Budaya Dengan Kognisi
Hubungan Budaya dengan Emosi
A.
Teori dan Pandangan Tradisional Tentang Emosi
Pentingnya emosi dalam kehidupan dan perilaku manusia diakui secara luas dalam psikologi. Emosi memberi warna pada hidup, menjadi penuh makna. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator penting perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran penting dalam interaksi sosial.
Ada dua hal yang biasanya terlintas bila berbicara tentang emosi, yaitu:
a. Pengalaman emosional, yakni kondisi subyektif, perasaan dalam diri kita.
b. Ekspresi kita atas emosi melalui suara, wajah, bahasa, atau sikap tubuh ( gesture ).
Teori utama tentang pengalaman emosional, antara lain:
a.
Teori
James / Lange , menyatakan bahwa pengalaman akan emosi merupakan hasil dari persepsi seseorang terhadap gairah fisiologis (pada sistem saraf otonomik) serta terhadap perilaku tampaknya ( overt behaviour-nya ) sendiri.
b.
Teori
Cannon / Bard , menyatakan bahwa gairah otonomik terlampau lamban sehingga tidak bisa dipakai untuk menjelaskan terjadinya perubahan dalam pengalaman emosional. Sebaliknya pengalaman emosional yang sadar dihasilkan oleh stimulasi langsung pada pusat-pusat otak di korteks.
c.
Teori
Schatcher / Singer (teori yang terfokus pada peran interpretasi kognitif), menyatakan bahwa pengalaman emosional tergantung hanya pada interpretasi seseorang terhadap lingkungan di mana ia mengalami gairah. Menurutnya emosi tidak terdeferensiasi secara fisiologis.
Adapun beberapa teori umum, yaitu:
a.
Teori
Thomkins , menyatakan bahwa emosi bersifat adaptif secara evolusioner dan bahwa ekspresinya adalah bawaan biologis dan bersifat universal pada semua orang di budaya manapun.
b.
Teori
Ekman (1972) dan Izard (1971), menyatakan bahwa setidaknya ada enam ekspresi wajah emosi yang pankultural atau universal, seperti marah, jijik, takut, sedih, dan terkejut.
Kesamaan dari keseluruhan teori adalah semua melihat adanya peran sentral bagi pengalaman emosi subjektif dari perasaan batin (inner feeling) seseorang. Perbedaan-perbedaan Kultural dalam Mendefinisikan dan Memahami Emosi Telaah Russel yang menelaah dari berbagai literatur lintas-budaya dan antropologis tentang konsep-konsep emosi dan meyimpulkan bahwa ada perbedaan antar budaya, yang kadang mencolok, ini adalah hal yang bagus dan menjadi landasan yang kuat.
B. Konsep dan Definisi Emosi
Tidak semua budaya yang ada di dunia memiliki konsep emosi. Levy misalnya, mengatakan bahwa orang Tahiti tidak punya kata untuk emosi. Lutz juga menyatakan bahwa orang Ifaluk dari kepulauan Mikronesia tidak memiliki kata untuk emosi. Barangkali kata, dan konsep emosi adalah sesuatu yang khusus untuk budaya-budaya tertentu saja.
Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara.
a. Kategori atau Pelabelan Emosi
Orang dari budaya yang berbeda juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Beberapa kosakata bahasa Inggris, seperti anger, joy, sadness, liking, dan loving memiliki padanan dalam berbagai bahasa dan budaya. Ada pula kata-kata emosi dalam bahasa lain yang tidak punya padanan persisnya dalam bahasa inggris, tapi ada banyak kosakata dalam bahasa Inggris yang tidak punya padanan dalam bahasa lain. Dalam bahasa Jerman misalnya: ada kata schadenfreude
yang berati rasa senang yang timbul karena kesialan orang lain. Dalam bahasa Jepang ada kata-kata itoshii, ijirashii, dan amae dapat diterjemahkan sebagai rasa rindu akan orang tercinta yang tak ada, perasaan ketika melihat orang terpuji mengatasi suatu rintangan, dan perasaan ketergantungan.
Perbedaan bahasa lintas budaya ini menunjukkan bahwa masing-masing budaya memilah-milah dunia emosi dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, selain konsep emosi merupakan khas budaya ( culture bound ), demikian pula dengan cara tiap kebudayaan memberi kerangka dan melabeli dunia emosi.
b. Lokasi Emosi
Pemahaman kita tentang lokasi emosi pun tampaknya terikat oleh budaya. Perbedaan kultural dalam konsep, definisi, pelabelan, dan lokasi emosi semuanya membuat makna emosi menjadi berbeda bagi orang dari budaya yang berbeda serta dalam perilaku mereka.
C. Perbedaan Makna Emosi bagi Orang dan dalam Perilaku Lintas Budaya
Menurut psikolog Amerika, emosi mengandung makna yang sangat kental, barangkali psikologi Amerika memandang perasaan batin yang subjektif sebagai karakteristik utama yang mendefinisikan emosi. Namun demikian dalam budaya lain emosi memiliki peran yang berbeda. Misalnya banyak budaya yang menganggap emosi sebagai pernyataan-pernyataan tentang hubungan antar orang dan lingkungannya, yang mencakup baik benda-benda maupun hubungan sosial dengan orang lain. Bagi orang Ifaluk di Mikroneia maupun orang Tahiti, emosi adalah pernyataan tentang hubungan-hubungan sosial dan lingkungan fisik. Konsep Jepang amae , menunjuk pada hubungan saling ketergantungan antara dua orang.
a. Penelitian Psikologi Lintas Budaya Tentang Emosi
Ada beberapa perbedaan penting antara penelitian psikologi lintas budaya tentang emosi dengan penelitian antropologis dan etnografis. Satu perbedaan pentingnya adalah bahwa psikolog biasanya mendefinisikan terlebih dahulu apa yang tercakup sebagai emosi dan aspek mana dari definisi tersebut yang akan dikaji.
Perbedaan kultural dalam konsep dan definisi emosi, menjadi hambatan bagi model penelitian ini. Penelitian psikologis tentang emosi tetap mewakili suatu model penelitian yang penting tentang perbedaan kultural dan emosi. Meski begitu mereka menegaskan bagaimana budaya bisa membentuk emosi dan demikian meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengaruh-pengaruh sosio-kultural. Studi ini juga penting karena mereka menunjukkan bahwa perbedaan kultural emosi tetap ada, bahkan ketika aspek emosi yang diteliti didefinisikan oleh pandangan barat mainstream dalam emosi.
b. Ekspresi Emosi
Penelitian lintas budaya tentang ekspresi emosi pada umumnya terfokus pada ekspresi wajah. Ekspesi wajah dari emosi dari emosi adalah aspek ekspresi emosi yang paling banyak dipelajari, dan penelitian lintas budaya mengenai ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong utama studi emosi di Psikologi Amerika. Ekman dan Izard mendapatkan bukti pertama yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi marah, jijik, takut, senang, sedih, dan terkejut. Keuniversalan ini berarti bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi tersebut secara biologis bersifat bawaan atau inate. Namun temuan ini tidak cocok dengan apa yang secara intuitif kita rasakan tentang adanya perbedaan kultural dalam ekspresi emosi. Masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara emosi universal tersebut diekspresikan, emosi tersebut tergantung pada situasi sosial. Ini biasa kita sebut sebagai aturan pengungkapan kultural (cultural display role).
c. Persepsi Emosi
Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Meski biasanya ada kesepakatan antar budaya dalam hal emosi apa yang ditampilkan oleh suatu ekspresi wajah, namun tetap ada variasi dalam tingkat kesepakatan tersebut. Jenis perbedaan kultural dalam pelabelan emosi inilah yang ditemukan dalam penelitian yang lebih baru.
Sebenarnya, perbedaan kultural dalam tingkat kesepakatan masing-masing budaya dalam melabeli emosi juga tampak dalam data dari penelitian ulang Ekman dan
Izard tentang sifat universal emosi. Hanya saja, ketika itu perbedaan kultural ini tidak diuji karena tujuan penelitian tersebut adalah untuk menemukan kesamaan bukan perbedaan kultural.
d. Pengalaman Emosi
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa program penelitian mulai mempelajari bagaimana orang-orang dari berbagai budaya mengalami emosi secara berbeda-beda. Penelitian-penelitian tersebut melibatkan ribuan responden dari lebih dari 30 budaya dari seluruh dunia yang mengisi kuisioner tentang emosi yang mereka alami di kehidupan sehari-hari mereka. Secara kolektif, temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa budaya memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi.
Para responden dalam penelitian ini juga menilai seberapa kuat (intensitas) dan seberapa lama (durasi) mereka mengalami emosi mereka. Orang Amerika merasakan emosi mereka lebih lama dan pada intensitas yang lebih tinggi ketimbang orang Eropa maupun Jepang.
D. Menuju Teori Emosi Lintas Budaya
Kebudayaan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk emosi manusia. Bukti-buktinya berasal dari berbagai penelitian antropologis dan etnografik tentang emosi di berbagai budaya yang berbeda, penelitian psikologis lintas budaya tentang emosi dan penelitian fisologis tentang emosi pada berbagai kelompok ras di Amerika. Tapi sebelumnya, harus dicari cara-cara yang lebih baik untuk mengorganisir dan memahami pengaruh kultural pada emosi. Sebelum kita menemukan fakta-fakta baru tentang perbedaan kultural dalam emosi, kita harus menemukan cara-cara yang berarti untuk memahami, memprediksi dan menafsirkan perbedaan kultural. Menemukan dan mengambil pendekatan-pendekatan yang secara teoritis relevan dengan budaya dan emosi akan membantu kita untuk memahami budaya dan emosi. Hal itu juga akan mendorong upaya pencarian kita untuk menyibak berbagai hubungan antara keduanya dalam cara-cara yang penting.
Saat ini semakin banyak psikolog dan ilmuwan sosial lain yang sepakat bahwa kita perlu mendefinisikan budaya tidak berdasarkan etnisitas atau nasional. Budaya bukanlah biologi, melainkan lebih merupakan suatu konstruk sosio-psikologis. Karena itu, kita harus beranjak dari kebiasaan mengklasifikasi orang sebagai orang Kaukasia, kulit hitam, Hispanik, dan Asia, atau Amerika, Prancis, Jepang dan Inggris. Kita perlu menemukan cara-cara yang bermakna untuk mendefinisikan budaya dengan mengabaikan etnisitas atau nasional.
Salah satu hal penting bagi teori emosi lintas budaya adalah indikasi bahwa ekspresi-ekspresi emosional bervariasi lebih menurut fungsi atau lebih berdasarkan dimensi individualisme vs kolektifisme, ketimbang berdasarkan apa-apa seseorang itu berkulit hitam bangsa Jepang atau bangsa Mesir temuan-temuan dari berbagai penelitian terbaru tentang emosi tampaknya mendukung penggambaran kultural ini untuk memahami perbedaan kultural dalam emosi.
Pendekatan ini bukanlah jawaban akhir atas pertanyaan-pertanyaan kita dalam memahami pengaruh budaya atas emosi. Cara-cara untuk menggambarkan budaya secara lebih berarti ketimbang penggambaran lewat dimensi individualisme vs kolektifisme mungkin akan muncul dan para peneliti mungkin akan menemukan dimensi kultural lain yang lebih relevan untuk memahami perbedaan-perbedaan kultural dalam emosi.
Hubungan Budaya dengan Kognisi
Sebagai makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku. Perilaku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.
Ada suatu benang merah antara pendapat Lewin dan Kelly. Individu senantiasa bersinggungan dengan dunianya (lingkungan). Sementara itu, sebagai masyarakat dunia, manusia mungkin saja mengembangkan kebudayaan yang hampir sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Jika diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya buruk mempengaruhi pola pikir dan kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya berbagai masalah yang tidak di inginkan akan terjadi secara terus-menerus. Sebagai contoh, ketika budaya berpakaian minim bagi kaum perempuan masuk ke Indonesia, muncul berbagai perdebatan.
A.
Kognitif Dalam Lintas Budaya
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih nesar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untukmemenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang diseimbangkandengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan ( AGHT ) dari lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya, antara lain:
a.
Kecerdasan Umum
Mc. Shane dan Berry memiliki suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap terhadap tes kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu (kemiskinan, gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya sebagai pendektan untuk melengkapi konsep G. jika disimpulkan beberapa hal yang memepengaruhi kemempuan kognitif seseorang bukanlah budaya yang ada pada lingkungan mereaka akan tetapi kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor genetik, kondisi psikis, deprivasi individu dan disorganisasi budaya.
b.
Genetic Epistemologi (Faktor Keturunan)
Genetic Epistemologi adalah salah satu teori dari Jean Piaget yang isinya adalah mengatakan bahwa "adanya koherensi antara penampilan kognitif saat berbagai tugas diberikan pada seseorang". Dalam teori selnjutnya (dalam bahasan ini) piaget menjelaskan adanya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif;
a) Faktor biologis, berada pada sistem saraf.
b) Faktor keseimbangan, berkembang disebabkan adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan
c) Faktor social
d) Faktor perpindahan budaya, termasuk didalamnya pendidikan, kebiasaan dan lembaga.
c.
Cara Berpikir
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan genetik epistemologi, cara berpikir seseorang cenderung mengarah pada aspek "bagaimana" dari pada aspek "seberapa banyak" (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya. Kemampuan kognitif dan model-model kognitif merupakan salah satu cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat kesepakatan yang efektif terhadap masalahyang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini mencari pola dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal bahwa semua proses berlaku pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan penggunaan yang berbeda akan mengarah pada pola kemampuan yang berbeda juga.
d.
Contextualized cognition (pengamatan kontekstual)
Secara garis besar Cole
dan Scriber memberikan suatu metodologo dan teori tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan kontek kognisi yang di sebut sebagai Contextualized cognition . Untuk memperkuat pendekatan mereka, cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual ( contextualization ). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
B.
Adapun pengaruh kognitif terhadap lintas budaya antara lain:
a.
Locus of control
Hal paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control . Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan.
Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain atau lingkungan.
b.
Diri individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari ornag lain. Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan insteransi dalam diri.
c.
Kolektifitas
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos . Tugas utama normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungansatu sama lain. Karenanya, diri ( self ) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan dan harapan-harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal.
Dapat dilihat bahwa diri ( self ) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.
d.
Persepsi diri
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan atau sifat kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.
e.
Sosial explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual, yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Akibatnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
f.
Motivasi berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan energi bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak menarik perhatian dan diteliti dalam penelitian psikologi, sekaligus paling controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland .
Dalam teori motivasi Maslow , manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut Mc-clelland , manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial atau interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang lain, terutama orang-orang terdekat.
g.
Peningkatan diri ( self enhancement )
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan harga diri ( self esteem ) ataupun kepuasan diri ( self satisfiaction ). Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan membuat ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.
KESIMPULAN
Emosi memberi warna pada hidup. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator bagi perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran dalam interaksi sosial. Penelitian psikologi lintas budaya tentang emosi dikaji dengan pendekatan antropologis dan etnografis. Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara. Orang dari budaya yang berbeda, juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Budaya memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi. Kebudayaan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk emosi manusia.
Hakikat dari perbedaan yang ada di muka bumi, yaitu agar manusia saling mengenal sesamanya. Adanya latar belakang budaya yang berbeda, tentu akan dapat melahirkan perbedaan pemikiran. Namun demikian, perbedaan pemikiran itu hendaknya tidak melulu menjadi suatu perdebatan di antara masyarakat. Perbedaan itu hendaknya menjadi kekayaan bersama dalam khasanah kebudayaan masyarakat dunia yang memang heterogen.
Ketepatan kita dalam memandang suatu permasalahan melalui perspektif tertentu akan dapat mengeliminasi permusuhan antar golongan. Sebagaimana dikemukakan oleh Freud, pada hakikatnya insting mati memang telah ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, penggunaan sudut pandang yang tepat dalam mengkaji suatu masalah budaya adalah langkah yang tepat untuk dapat mengendalikan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
dedi45no.blogspot.com/2013/03 / makalah - budaya . html
fauzizdeslav.blogspot.com/2013 / ... / budaya -dengan-perilaku- kognisi . html
0 komentar:
Posting Komentar